30 November tahun ini genap 4 tahun aku menjalani kehidupan
tanpa sesosok ayah.
Semuanya terasa sulit pada awalnya, terasa berat.
Rasanya pijakan yang telah kubuat selama 14 tahun aku hidup
roboh seketika.
Ya itu yang kurasakan 4 tahun silam.
Rasanya seperti mimpi.
Enggan sekali mempercayainya.
Rasanya kuingin terlelap tak sadarkan diri, lalu terbangun
dipangkuannya, dipangkuan bapa.
Melihat raut wajahnya menampakkan gurat khawatir.
Tapi itu semua hanya khayalan. Harapan.
Lucunya, jangankan terjatuh pingsan, dudukpun aku harus
dikomando.
Aneh rasanya, ketika batinku terasa sangat jatuh, roboh,
tapi ragaku tetap berdiri tegak tak bergeming.
Hal yang lebih lucu adalah aku sangat mengkhawatirkan yang
lain dibanding diriku sendiri.
Anehnya, Aku merasa tak pantas kehilangan.
14 tahun bersama bapa, itu bukan waktu yang lama tapi tentu
bukan waktu yang singkat.
Aku lebih mengkhawatirkan ibu dan saudara-saudaraku.
Keesokan harinya, pemakamanpun dilaksanakan.
Detik-detik terakhir kebersamaan dengan bapa pun akan
menjadi kenangan.
Bahkan didetik terakhir itu, aku tak menangis.
Lebih tepatnya aku menahan diri untuk tak mengeluarkan
tangisan.
Mencoba menepati pinta kakak yang sangat sulit untuk
ditepati.
“Kalau mau ikut ke tempat peristirahatan terakhir bapa,
jangan nangis.”
Dan, sulit dipercaya. Aku tak menangis.
Ya setidaknya disana aku tak menangis.
“Bapa aja senyum, masa kamu nangis.”
Kalimat yang datangnya dari mulut kakak tapi rasa-rasanya
aku mendengar pesan bapa disana.
Seminggu masih bagaikan mimpi.
40 hari masih terasa berat.
100 hari, aku selalu bermimpi, pa.
1 tahun, ini sulit. Mencoba untuk benar-benar ikhlas. Walau
bagaimanapun aku tak ingin memperberat langkah bapa.
Tahun ke 2, aku mencoba untuk bangkit, tapi, seakan pondasi
yang jelek, dinding itu kerap kali runtuh kembali.
Tahun ke 3, memulai membuat pondasi yang baik. Aku masih
punya IBU disini. Dan itu harus menjadi modal kuat untuk bertahan.
Tahun ke 4.
Kini aku mulai mengerti betapa sulitnya mengikhlaskan.
Tapi, aku pun memahami bahwa setiap kejadian selalu ada
hikmah yang bisa diambil.
2017
Kini anak bungsumu telah menjadi gadis remaja.
Tak secantik kebanyakan gadis memang.
Tapi aku tetap menjadi seorang putri dimatamu, kan?
2017
Jika bapa disini, ingin sekali ku membuatmu cemburu.
Menceritakan sesosok pria diluar sana yang kelak mungkin
saja akan menjadi teman hidupku.
Sesosok pria yang akan dengan berani memegang tanganmu,
untuk mengambil alih diriku darimu.
Kelak,
Aku akan tersenyum saat merindukanmu, Pa.
Tidak, bukan karena aku bahagia.
Tapi karena rindu itu terlalu dalam.
Rasanya terlalu sayang jika untuk ditangisi.
Di kehidupan selanjutnya,
Ajarkan aku agar bisa sekuat dirimu, Pa.
Untuk tetap bekerja dan tak pernah mengeluh.
Untuk tetap tersenyum agar tak mengkhawatirkan orang lain.
Untuk menjadi pribadi yang menyenangkan bagi semua.
Maaf,
Aku tak sempat membuatmu bangga memiliki anak sepertiku.
Maaf,
Selama 14 tahun kebersamaan kita, aku hanya selalu
membuatmu khawatir.
Membuatmu marah dan kesal karena sifat manja dan
ketidakpatuhanku.
Terimakasih, telah menjadi ayahku.
~~~
Bandung, 8 November 2017.
Febrina Zelin